Bagi negeri kita yang sepanjang tahun panas dengan kelembaban tinggi, buah tomat mengalami respirasi yang tinggi, sehingga tanamannya cepat berbuah dan cepat pula masak. Konsekuensinya, kita sulit memperoleh buah tomat yang besar-besar seperti tomat produksi New Zealand, Australia, atau Amerika Serikat, yang banyak kita temukan di beberapa supermarket. Karena, begitu semua kandungan buahnya telah terisi, sebelum mencapai ukuran yang maksimal, buah tomat kita segera memasuki masa pemasakan atau disebut ripening.
Sesuai dengan sifatnya ini, maka membeli buah yang masih hijau namun ukuran buahnya telah maksimal, merupakan pilihan yang baik untuk memperpanjang umur simpannya, karena nilai gizinya tidak berbeda.
Apakah ini berarti nilai gizi yang dikandung tomat kita lebih rendah dari pada tomat-tomat impor? Tentu saja tidak. Karena sesuai dengan “kodrat”nya, tanaman tomat termasuk tanaman yang selektif dalam menyerap unsur hara. Apabila kekurangan salah satu unsur hara, tanaman ini akan memperkecil buahnya, namun tidak mengurangi senyawa-senyawa gizi yang dibentuknya.
Respirasi buah tomat ini terus berlangsung ketika telah dipetik. Proses respirasi yang menyebabkan pembusukan ini terjadi karena perubahan-perubahan kimia dalam buah tomat dari pro-vitamin A menjadi vitamin A, pro-vitamin C-menjadi Vitamin C, dan dari karbohidrat menjadi gula, yang menghasilkan CO2, H2O, dan ethylen. Akumulasi produk-produk respirasi inilah yang menyebabkan pembusukan.
Namun sesuai ‘kodrat’-nya pula respirasi ini tidak dapat dihentikan, hanya bisa dihambat, yaitu dengan menyimpannya pada suhu dan kelembaban rendah. Penyimanan suhu rendah dapat dilakukan secara sederhana dalam almari es, namun di tempat ini kelembabannya tinggi mengingat barang-barang yang mudah menguap juga tersimpan di sini, sehingga proses respirasi tidak dapat dihambat dengan baik.
Cara lain adalah mengurangi timbunan produk-produk respirasi. Penghambatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Buah-buah tomat impor yang kita dapati di beberapa supermarket atau galael di Semarang ini, biasanya dibungkus dengan plastik polyethilen. Cara ini cukup baik, karena cukup efektif menekan pembentukan CO2 dan H2O. Namun ‘poly-ethilen’ ini akanberreaksi dengan ‘ethylen’ yang dihasilkan buah tomat, membentuk ‘ethylen’ rantai panjang yang mudah beraksi dengan lapisan lilin kulit tomat, sehingga sampai batas tertentu kurang baik bagi kesehatan, kecuali bila kulitnya “dikupas”.
Bahan kemasan lain buah tomat impor adalah plastik polyethilen shrink film atau plastik mengkerut, yang terlihat lebih “bergengsi”, karena harganya lebih mahal. Tetapi sesuai dengan sifat reaksi ethylen tersebut, kemasan ini lebih kurang baik bagi kesehatan karena kontak langsung kulit buah dengan bungkus lebih banyak.
Di Australia biasanya digunakan bungkus plastik polyethylen biasa dengan buntalan kecil di dalamnya yang berisi KMNO4. Pengemasan ini lebih aman karena KMNO4 sangat efektif menyerap ethylen. Namun akibatnya, harga tomatnya jauh lebih mahal, karena harga KMNO4 dan pembungkusnya, yang harus semipermeabel ini, sangat mahal.
Di Australia biasanya digunakan bungkus plastik polyethylen biasa dengan buntalan kecil di dalamnya yang berisi KMNO4. Pengemasan ini lebih aman karena KMNO4 sangat efektif menyerap ethylen. Namun akibatnya, harga tomatnya jauh lebih mahal, karena harga KMNO4 dan pembungkusnya, yang harus semipermeabel ini, sangat mahal.
Cara paling mudah, murah, dan aman bagi tomat-tomat dalam negeri adalah adalah menyimpannya dalam kotak kayu yang higroskopis sehingga dapat menyerap H2O dan di bagian bawahnya diberi kapur tohor atau Ca(OH)2 untuk mengikat CO2, serta disimpan di tempat yang kering dan teduh sehingga penimbunan ethylen dapat ditekan. Bila buah tomat yang disimpan masih berwarna kehijau-hijauan, penyimpanan dengan cara ini dapat menahan kesegaran buah tomat sampai 2 minggu. (SM)
Sumber : Seri Iptek Pangan Volume 1: Teknologi, Produk, Nutrisi & Kemanan Pangan, Jurusan Teknologi Pangan - Unika Soegijapranata, Semarang
Editor : Budi Widianarko, A. Rika Pratiwi, Ch. Retnaningsih